An Impulsive Neophyte

Sunday, August 13, 2006

PERCAYA PENUH KEPADA ALLAH, TIDAK TAKLUK KEPADA BAYANGAN BURUK

Oleh

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy

Jika hati seseorang bersandar dan bertawaqal kepada Allah, tidak takluk kepada bayang-bayang buruk dan tidak pula dikuasai oleh khayalan-khayalan buruk, sedang ia percaya penuh kepada Allah dan mendambakan karuniaNya, maka dengan itu segala kegelisahan dan kegundahan akan tertangkis, sejumlah penyakit luar maupun dalam akan hilang darinya, dan akan tercipta di hatinya kekuatan, kelapangan dan kegembiraan yang tak mungkin terungkapkan olah kata.

Berapa banyak rumah sakit dipenuhi oleh penderita akibat bayang-bayang dan khayalan-khayalan rusak. Berapa banyak hal ini meninggalkan efek buruk di hati kebanyakan orang yang kuat, lebih-lebih yang lemah. Berapa banyak ia mengakibatkan kedunguan dan sakit jiwa.

Orang yang sejahtera lahir dan batin adalah orang yang dapat disejahterakan dan dikarunia taufiq oleh Allah untuk dapat menekan jiwanya dalam rangka meraih sarana-sarana yang bermanfaat lagi mampu mengukuhkan hatinya dan mengusir keguncangan.

Allah berfirman.

“Artinya : Barangsiapa yang bertawaqal kepada Allah, niscaya Allah yang mencukupinya” [Ath-Thalaq : 3]

Yakni mencukupi segala yang dibutuhkannya baik dalam kehidupan religinya ataupun urusan duniawinya.

Maka orang yang bertawaqal kepada Allah, ia berhati kuat, tidak terpengaruh oleh bayang-bayang buruk dan tidak pula terguncang oleh peristiwa-peristiwa pahit. Karena, ia mengetahui bahwa yang demikian itu adalah tanda kelemahan jiwa dan kekalahan serta ketakutan yang tidak ada wujudnya yang nyata. Ia mengetahui, di samping itu, bahwa Allah telah menjamin orang yang bertawaqal kepadaNya untuk dicukupiNya dengan sempurna. Maka, iapun percaya penuh kepada Allah, tenteram dan yakin dengan janjiNya. Dengan itu, sirnalah kegelisahan dan keguncangannya. Kesulitan yang dihadapinya berganti menjadi kemudahan, kesedihan berganti menjadi kegembiraan, dan rasa takut serta kekhawatirannya berganti menjadi rasa aman dan tenteram. Kita memohon kepada Allah, semoga Dia mengaruniai kita kesejahteraan, kekuatan dan keteguhan hati, dengan lantaran tawaqal sepenuhnya kepadaNya, yang dengan itu Allah menjamin bagi orang-orang yang bertawaqal segala kebaikan dan menangkis segala cobaan maupun marabahaya.

[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]

Saturday, June 24, 2006

test

Menurut Dukuh Kwasen Srimartani Piyungan, masih banyak terdapat anak yang berada
dalam kondisi stress. Beliau juga mengharapkan pihak luar yang membantu
bisa bertindak untuk memperbaiki kondisi psikologis anak.

Friday, June 23, 2006

Nice Job for team "smile"

Nice Job for Ainun dan San Ramdhani (team "smile" hehe).
Berharap web nya jangan ditutup. Kalau bisa dorman sementara nanti jika ada hal2 penting lagi bisa bekerja lagi web nya.

May Allah bless you always.
(oo..iya kabar klaten juga rusak parah. Rumah disekitar lingkungan kakek dan bu'le saya banyak yang hancur juga)

Friday, May 12, 2006

pamit

assalamu'alaikum wr wb,

dengan ini saya menyatakan:

undur diri.

itu saja. tidak perlu penjelasan.



thanks for everything shared, may Allah's guidance be with us.

always.

Wednesday, May 10, 2006

renungan singkat

bismillahirrahmanirrahim

Sepi ya? ga apa2 deh, di isi lagi blognya biar bermanfaat.

buat renungan ada hadits singkat , semoga bermanfaat!

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallah wa anhu, ia berkata :
"Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda: " Ketahuilah bahwa dunia itu terlaknat apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah, ketaatan kepada Allah dan seorang alim atau penuntut ilmu(ilmu syar'i)".
Hadits Riwayat At-tirmidzy sanad hadits ini hasan.
Diambil dari Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam An-Nawawi Rahimahulullah hadits bab Ilmu

Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahulullah dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no 2322

Monday, April 17, 2006

ADAB BERJALAN KE MASJID

Bismillahhirrahmanirrahim
Ada cuplikan dari Al-Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat ttg:
ADAB BERJALAN KE MASJID

Hadits Pertama
"Artinya : Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang (yang datang). Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai shalat, ia bertanya : "Ada apa dengan kamu tadi (berisik) ?". Mereka menjawab : "Kami terburu-buru untuk turut (jama'ah)", Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah !" [Hadits Shahih Riwayat : Bukhari, Muslim dan Ahmad]

Hadits Kedua
"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda : "Apabila kamu mendengar qamat, maka pergilah kamu ke tempat shalat itu, dan kamu haruslah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat, dan janganlah kamu tergesa-gesa, apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan sempurnakanlah". [Hadits Riwayat : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa'i dan Ahmad]

Kedua hadits ini mengandung beberapa hukum :
[1]. Kita diperintah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat apabila mendatangi tempat shalat (masjid).

[2]. Kita dilarang tergesa-gesa/terburu-buru apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun qamat telah dikumandangkan.

[3]. Kita dilarang berisik apabila sampai di tempat shalat, sedang shalat (jama'ah) telah didirikan. Ini dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat jama'ah.

[4]. Imam masjid perlu menegur (memberikan pelajaran/nasehat) kepada para jama'ah (ma'mum) yang kelakuannya tidak sopan di masjid, seperti berisik, mengganggu orang shalat, melewati orang yang sedang shalat, shaf tidak beres, berdzikir dengan suara keras, yang dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau belajar atau lain-lain.

[5]. Apa yang kita dapatkan dari shalatnya Imam, maka hendaklah langsung kita shalat sebagaimana keadaan shalat imam waktu itu.

[6]. Setelah imam selesai memberi salam ke kanan dan ke kiri, barulah kita sempurnakan apa-apa yang ketinggalan.Diantara hikmahnya kita diperintahkan tenang dan sopan serta tidak boleh tergesa-gesa, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Karena sesungguhnya salah seorang diantara kamu, apabila menuju shalat, maka berarti dia sudah dianggap dalam shalat". [Hadits Shahih Riwayat : Muslim].Periksa : Shahih Muslim 2 : 99,100. Shahih Bukhari 1 : 156. Subulus Salam (Syarah Bulughul Maram) 2 : 33, 34. Nailul Authar (Terjemahan) 2 : 781. Koleksi Hadits Hukum, Ustadz Hasbi 4 : 27. Fiqih Sunnah.

Sunday, April 09, 2006

Mbok Yem

Sebuah Cerita Pendek oleh K.H. Achmad Mustofa Bisri (Gus Mus):

Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.

"Ini anak saya yang belajar di Mesir;" katanya bangga. "Sudah empat tahun tidak pulang."

Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.

"Pak, kita beruntung ya," katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. "Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita." Lalu ditujukan kepadaku, "Bukan begitu, Nak Mus?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

"Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana," katanya lagi. "Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem."

"Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah," tukas ibuku. "Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini."

"Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu."

Orang-orang pada ketawa.

"Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita," kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. "Terima kasih!" aku menyambut teh panas yang disodorkan.

"Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?" tanya yang lain.

"Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain," kataku, "tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari."

"Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir," kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. "Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab."

"Kamu ini bagaimana," Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. "Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan."

"Ya, saya tahu," sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. "Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja."

"Enak saja!"

"Sudah, sudah," kata ibuku memotong. "Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!"

***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo --anggota rombongan yang paling tua-- sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak "bukit manusia" dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. "Apakah itu Jabal Rahmah?"

"Ya, itulah Jabal Rahmah."

"Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?"

"Wallahu a'lam ya, tapi memang banyak yang percaya."

"Apa kita akan ke sana?"

"Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk."

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.

"Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?"

"Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan."

"Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!"

Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. "Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia."

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama --Dhuhur dan Asar-- dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah... Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.

***


Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus
beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy'aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

"Jangan jauh-jauh!" terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus --orang Mesir-- sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalagi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, "Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?"

"Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina," aku mencoba menyabarkan si penggerutu."Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap."

Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, "Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!" Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.

"Tenanglah, Mbok Yem," bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. "Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya."

"Iya, Mbok," adikku ikutan membujuk. "Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah."

"Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain," aku menimpali. "Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi."

Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. "Mbah Joyo itu penyelamatku!" desisnya berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.


***


Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih
Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab
kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat
Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan
besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk,
pisang, buah pir, dll).

Mbok Yem langsung menjerit, "Mbah Joyo!" dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, "Alhamdulillaaaah!"

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

"Sudah dulu, Mbok Yem," tegur ketua rombongan, "nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu." Kemudian kepada Mbah Joyo, "Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?"

"Iya, Mbah," sela yang lain, "Sampeyan salah masuk bus ya?!"

"Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?" tanya yang lain lagi.

"Mbah Joyo sudah melempar jumrah 'aqabah?"

Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. "Lihat, kan saya sudah pakai piyama!" Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.

"Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah 'aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar."

"Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?"

"Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya."

"Ajaib!"

***


Sesudah selesai melempar jumrah 'aqabah, rupanya jamaah sudah tak
tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama
terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang
tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki
ibuku. "Mumpung Mbah Joyo tidur," katanya. Sementara aku dan adikku
ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak
terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS --sekarang "diperhalus" istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial-- dan Mbah Joyo adalah "langganan"-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

"Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang," kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. "Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini."

Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku.

***

Rembang, 1423/2002

Catatan: sumber : Harian "JAWA POS" tanggal 27 April 2003

Selingan humor ;-)

diceritakan oleh GUS IPIN

Alkisah ada dua Kiai di Jombang (nggak usah disebut nama gakpapa ya). Yang satu ahli fiqih, satunya ahli tasawuf. Suatu hari ada orang desa yg kaya datang sowan ke Pak Kiai ahli fiqih. Orang ini punya anggota keluarga 7 orang plus 1 bayi baru lahir. Untuk menyambut idul adha, dia mau berkorban. Agar bisa bareng-bareng sekeluarga naik si sapi saat di shiratal mustaqim kelak, dia minta persetujuan Pak Kiai agar diizinkan kurban 1 sapi

Kiai : "Wah tidak bisa, tidak sah itu"
Orang Desa Kaya (ODK) : "Tapi yg 1 kan masih bayi Pak Kiai, lagian sapi saya ini besar sekali kok"
Kiai : "Tetep tidak sah, sapi ya hanya untuk 7 orang Pak"

Dengan sedih, si ODK ini pergi ke Kiai lain yang ahli tasawuf. Di luar dugaan...

Kiai : "Oh begitu... sah sah... kurban Sampeyan sah Pak"
ODK : "Lho... apa betul Pak Kiai"
Kiai : "Iya betul.... cuman.... ini begini... berhubung sapi sampeyan ini terlalu besar, jadi anak sampeyan yang bayi itu, kelak tidak bakalan bisa naik. Untuk itu butuh tangga"
ODK : "Baik Pak Kiai.... apa tangganya"
Kiai : "Tangganya itu kambing satu ekor"
ODK : "Oh... begitu... baik, saya beli kalau begitu"

Sumber: Ust. Agus Zainal Arifin (Gus Ipin)

Bismillahirrahmianirrahim

MEMOHON PEMBENAHAN ILAHI DALAM SEGALA URUSAN

Oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy

Hal yang paling bermanfaat dalam meniti peristiwa di masa mendatang adalah mengamalkan do’a yang diamalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Ya Allah, Perbaikilah kehidupan religiku, yang ia adalah benteng bagi segala urusanku. Perbaikai urusan duniawiku yang padanya kehidupanku. Perbaikilah akhiratku, yang kepadanya tempatku kembali. Jadikanlah hidup ini sebagai lahan uapayaku menambah segala kebajikan, dan jadikanlah mati sebagai titik henti bagiku dari segala keburukan” [Muslim, Shahih Muslim, Kitab Adz-Dzikr Wad-Du’a wat-Taubah wal Istighfar, bab At-Ta’awwudz min Syarri Ma’ Amila wa Min Syarri Malam Ya’mal]

Juga do’a beliau.“Artinya : Ya Allah, hanya RahmatMu jualah yang kuharap. Karenanya titipkan diriku pada diriku walaupun sekejap mata, perbaikilah keadaanku seluruhnya Tiada Tuhan Yang Haq disembah kecuali Engkau” [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih][1]

Jika bibir seorang hamba mengucapkan do’a ini –yang mengandung kebaikan masa depan bagi nilai religinya maupun urusan duniawinya- dengan hati yang memusat dan niat yang benar, seiring berupaya merealisasikan hal itu dengan berbuat, niscaya Allah akan mewujudkan apa yang ia panjatkan dalam do’anya dan yang ia harapkan serta yang ia upayakan itu menjadi realita, dan kegelisahannya pun akan berubah menjadi kegembiraan dan kesukacitaan


[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia hal 26-29, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]


Foote Note[1] Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Al-Fath Ar-Rabbani Li Tartibi Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani, Kitab Al-Adzkar Wad-Da’wat, bab Ma Yuqalu Fis-Shabah Wal Masa. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan At-Thabrani, ia nyatakan sanadnya Hasan]