An Impulsive Neophyte

Sunday, February 19, 2006

Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

[A]. Al-Ihdats (Mengada-ada) Sesuatu yang Baru
Dalil syarat ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam"Artinya : Barang siapa mengada-ada (sesuatu yang baru)."Dan sabdanya:"Artinya : Dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah."Jadi yang dimaksud al-ihdaats adalah mendatangkan sesuatu yang baru, dibuat-buat, dan tidak ada contoh sebelumnya.

[1]Maka masuk di dalamnya: segala sesuatu yang diada-adakan, baik yangtercela maupun yang terpuji, baik dalam agama atau bukan.Dan dengan batasan ini maka yang tidak diada-adakan tidak dapat disebut bid'ah misalnya melaksanakan semua syi'ar agama seperti shalat fardlu, puasa ramadlan, dan melakukan hal-hal yang sifatnya duniawi seperti makan, pakaian dan lain-lain. Karena hal yang baru itu bisa terjadi dalam urusan duniawi dan urusan agama (dien) untuk itu perlu adanya pembatasan dalam dua batasan berikut ini:

[B]. Sesuatu Yang Baru Itu Disandarkan Kepada AgamaDalil batasan ini adalah sabda Rasuhdlah Shalallahu 'Alaihi Wasallam:"Artinya : Dalam urusan (agama) kami ini."Dan yang dimaksud dengan urusan nabi di sini adalah agama dan syari'atnya.
[Lihat Jami'ul Uluum wal Hikam 1/177]

Maka makna yang dimaksud dalam bid'ah itu adalah bahwa sesuatu yang baru itu disandarkan kepada syari'at dan dihubungkan dengan agama dalam satu sisi dari sisi-sisi yang ada, dan makna ini bisa tercapai bila mengandung salah satu dari tiga unsur berikut ini:Pertama : Mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan.Kedua : Keluar menentang (aturan) agama.Ketiga : Yaitu hal-hal yang bisa menggiring kepada bid'ah.

Dengan batasan (syarat) yang ke dua ini, maka hal-hal yang baru dalam masalah-masalah materi dan urusan-urusan dunia tidak termasuk dalam pengertian bid'ah, begitu juga perbuatan-perbuatan maksiat dan kemungkaran yang baru, yang belum pernah terjadi pada masa dahulu, semua itu bukan termasuk bid'ah, kecuali jika hal-hal itu dilakukan dengan cara yang menyerupai taqarrub (kepada Allah) atau ketika melakukannya bisa menyebabkan adanya anggapan bahwa hal itu termasuk bagian agama.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Pustaka Azzam]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home