An Impulsive Neophyte

Monday, April 17, 2006

ADAB BERJALAN KE MASJID

Bismillahhirrahmanirrahim
Ada cuplikan dari Al-Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat ttg:
ADAB BERJALAN KE MASJID

Hadits Pertama
"Artinya : Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang (yang datang). Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai shalat, ia bertanya : "Ada apa dengan kamu tadi (berisik) ?". Mereka menjawab : "Kami terburu-buru untuk turut (jama'ah)", Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah !" [Hadits Shahih Riwayat : Bukhari, Muslim dan Ahmad]

Hadits Kedua
"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda : "Apabila kamu mendengar qamat, maka pergilah kamu ke tempat shalat itu, dan kamu haruslah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat, dan janganlah kamu tergesa-gesa, apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan sempurnakanlah". [Hadits Riwayat : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa'i dan Ahmad]

Kedua hadits ini mengandung beberapa hukum :
[1]. Kita diperintah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat apabila mendatangi tempat shalat (masjid).

[2]. Kita dilarang tergesa-gesa/terburu-buru apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun qamat telah dikumandangkan.

[3]. Kita dilarang berisik apabila sampai di tempat shalat, sedang shalat (jama'ah) telah didirikan. Ini dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat jama'ah.

[4]. Imam masjid perlu menegur (memberikan pelajaran/nasehat) kepada para jama'ah (ma'mum) yang kelakuannya tidak sopan di masjid, seperti berisik, mengganggu orang shalat, melewati orang yang sedang shalat, shaf tidak beres, berdzikir dengan suara keras, yang dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau belajar atau lain-lain.

[5]. Apa yang kita dapatkan dari shalatnya Imam, maka hendaklah langsung kita shalat sebagaimana keadaan shalat imam waktu itu.

[6]. Setelah imam selesai memberi salam ke kanan dan ke kiri, barulah kita sempurnakan apa-apa yang ketinggalan.Diantara hikmahnya kita diperintahkan tenang dan sopan serta tidak boleh tergesa-gesa, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda.

"Artinya : Karena sesungguhnya salah seorang diantara kamu, apabila menuju shalat, maka berarti dia sudah dianggap dalam shalat". [Hadits Shahih Riwayat : Muslim].Periksa : Shahih Muslim 2 : 99,100. Shahih Bukhari 1 : 156. Subulus Salam (Syarah Bulughul Maram) 2 : 33, 34. Nailul Authar (Terjemahan) 2 : 781. Koleksi Hadits Hukum, Ustadz Hasbi 4 : 27. Fiqih Sunnah.

Sunday, April 09, 2006

Mbok Yem

Sebuah Cerita Pendek oleh K.H. Achmad Mustofa Bisri (Gus Mus):

Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.

"Ini anak saya yang belajar di Mesir;" katanya bangga. "Sudah empat tahun tidak pulang."

Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.

"Pak, kita beruntung ya," katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. "Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita." Lalu ditujukan kepadaku, "Bukan begitu, Nak Mus?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

"Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana," katanya lagi. "Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem."

"Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah," tukas ibuku. "Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini."

"Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu."

Orang-orang pada ketawa.

"Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita," kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. "Terima kasih!" aku menyambut teh panas yang disodorkan.

"Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?" tanya yang lain.

"Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain," kataku, "tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari."

"Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir," kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. "Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab."

"Kamu ini bagaimana," Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. "Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan."

"Ya, saya tahu," sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. "Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja."

"Enak saja!"

"Sudah, sudah," kata ibuku memotong. "Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!"

***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo --anggota rombongan yang paling tua-- sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak "bukit manusia" dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. "Apakah itu Jabal Rahmah?"

"Ya, itulah Jabal Rahmah."

"Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?"

"Wallahu a'lam ya, tapi memang banyak yang percaya."

"Apa kita akan ke sana?"

"Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk."

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.

"Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?"

"Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan."

"Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!"

Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. "Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia."

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama --Dhuhur dan Asar-- dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah... Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.

***


Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus
beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy'aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

"Jangan jauh-jauh!" terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus --orang Mesir-- sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalagi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, "Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?"

"Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina," aku mencoba menyabarkan si penggerutu."Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap."

Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, "Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!" Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.

"Tenanglah, Mbok Yem," bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. "Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya."

"Iya, Mbok," adikku ikutan membujuk. "Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah."

"Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain," aku menimpali. "Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi."

Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. "Mbah Joyo itu penyelamatku!" desisnya berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.


***


Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih
Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab
kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat
Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan
besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk,
pisang, buah pir, dll).

Mbok Yem langsung menjerit, "Mbah Joyo!" dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, "Alhamdulillaaaah!"

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

"Sudah dulu, Mbok Yem," tegur ketua rombongan, "nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu." Kemudian kepada Mbah Joyo, "Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?"

"Iya, Mbah," sela yang lain, "Sampeyan salah masuk bus ya?!"

"Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?" tanya yang lain lagi.

"Mbah Joyo sudah melempar jumrah 'aqabah?"

Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. "Lihat, kan saya sudah pakai piyama!" Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.

"Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah 'aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar."

"Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?"

"Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya."

"Ajaib!"

***


Sesudah selesai melempar jumrah 'aqabah, rupanya jamaah sudah tak
tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama
terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang
tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki
ibuku. "Mumpung Mbah Joyo tidur," katanya. Sementara aku dan adikku
ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak
terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS --sekarang "diperhalus" istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial-- dan Mbah Joyo adalah "langganan"-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

"Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang," kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. "Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini."

Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku.

***

Rembang, 1423/2002

Catatan: sumber : Harian "JAWA POS" tanggal 27 April 2003

Selingan humor ;-)

diceritakan oleh GUS IPIN

Alkisah ada dua Kiai di Jombang (nggak usah disebut nama gakpapa ya). Yang satu ahli fiqih, satunya ahli tasawuf. Suatu hari ada orang desa yg kaya datang sowan ke Pak Kiai ahli fiqih. Orang ini punya anggota keluarga 7 orang plus 1 bayi baru lahir. Untuk menyambut idul adha, dia mau berkorban. Agar bisa bareng-bareng sekeluarga naik si sapi saat di shiratal mustaqim kelak, dia minta persetujuan Pak Kiai agar diizinkan kurban 1 sapi

Kiai : "Wah tidak bisa, tidak sah itu"
Orang Desa Kaya (ODK) : "Tapi yg 1 kan masih bayi Pak Kiai, lagian sapi saya ini besar sekali kok"
Kiai : "Tetep tidak sah, sapi ya hanya untuk 7 orang Pak"

Dengan sedih, si ODK ini pergi ke Kiai lain yang ahli tasawuf. Di luar dugaan...

Kiai : "Oh begitu... sah sah... kurban Sampeyan sah Pak"
ODK : "Lho... apa betul Pak Kiai"
Kiai : "Iya betul.... cuman.... ini begini... berhubung sapi sampeyan ini terlalu besar, jadi anak sampeyan yang bayi itu, kelak tidak bakalan bisa naik. Untuk itu butuh tangga"
ODK : "Baik Pak Kiai.... apa tangganya"
Kiai : "Tangganya itu kambing satu ekor"
ODK : "Oh... begitu... baik, saya beli kalau begitu"

Sumber: Ust. Agus Zainal Arifin (Gus Ipin)

Bismillahirrahmianirrahim

MEMOHON PEMBENAHAN ILAHI DALAM SEGALA URUSAN

Oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy

Hal yang paling bermanfaat dalam meniti peristiwa di masa mendatang adalah mengamalkan do’a yang diamalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Ya Allah, Perbaikilah kehidupan religiku, yang ia adalah benteng bagi segala urusanku. Perbaikai urusan duniawiku yang padanya kehidupanku. Perbaikilah akhiratku, yang kepadanya tempatku kembali. Jadikanlah hidup ini sebagai lahan uapayaku menambah segala kebajikan, dan jadikanlah mati sebagai titik henti bagiku dari segala keburukan” [Muslim, Shahih Muslim, Kitab Adz-Dzikr Wad-Du’a wat-Taubah wal Istighfar, bab At-Ta’awwudz min Syarri Ma’ Amila wa Min Syarri Malam Ya’mal]

Juga do’a beliau.“Artinya : Ya Allah, hanya RahmatMu jualah yang kuharap. Karenanya titipkan diriku pada diriku walaupun sekejap mata, perbaikilah keadaanku seluruhnya Tiada Tuhan Yang Haq disembah kecuali Engkau” [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih][1]

Jika bibir seorang hamba mengucapkan do’a ini –yang mengandung kebaikan masa depan bagi nilai religinya maupun urusan duniawinya- dengan hati yang memusat dan niat yang benar, seiring berupaya merealisasikan hal itu dengan berbuat, niscaya Allah akan mewujudkan apa yang ia panjatkan dalam do’anya dan yang ia harapkan serta yang ia upayakan itu menjadi realita, dan kegelisahannya pun akan berubah menjadi kegembiraan dan kesukacitaan


[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia hal 26-29, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]


Foote Note[1] Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Al-Fath Ar-Rabbani Li Tartibi Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani, Kitab Al-Adzkar Wad-Da’wat, bab Ma Yuqalu Fis-Shabah Wal Masa. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan At-Thabrani, ia nyatakan sanadnya Hasan]

Friday, April 07, 2006

Syahadat Saridin

Entah kenapa jadi teringat dengan "Syahadat Saridin", yang pernah aku baca dulu di salah satu bukunya Emha Ainun Nadjib (dengan emha dan j, klo nggak lain orang hehehe).

Selamat menikmati, semoga bisa diambil nasehat darinya :)

======================================================================
Syahadat Saridin oleh: DHB Wicaksono

Bismillah, Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba'du...

oleh Kiai Kanjeng

Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di halaman masjid.

Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin ternyata memang hebat.

Sebenarnya soalnya di sekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum santri berlomba-lomba melaksanakan anjuran Allah Zayyinul Qur'an ana biashwatikum - hiasilah Qur'an dengan suaramu. Membaca syahadat pun mesti seindah mungkin.

Di pesantren Sunan Kudus, hal ini termasuk diprioritaskan. Soalnya, ini manusia Jawa Tengah: lidah mereka Jawa medhok dan susah dibongkar. Kalau orang Jawa Timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri dengan lafal Qur'an, lidah mereka lincah banget.

Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau pelog Jawa.

Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung di luar dugaan semua yang hadir. Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan senyum-senyum ditahan.

Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap. Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan. Ia menarik napas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik [komat-kamit] entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat.

Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan ia pilih yang paling tinggi. Ia meloncat. Memanjat ke atas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.

Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak [daun kelapa kering] di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki di tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan melompat tinggi melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.

Semua yang hadir berteriak. Banyak di antara mereka yang memalingkan muka, atau setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan.

Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk sebagaimana seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya. Tapi ternyata itu tidak perlu.

Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Takzim dan mengucapkan sami'na wa atha'na -aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi.

Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk di sekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apa pun.

Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukkan di sisi Sunan. Saridin tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Ia datar-datar saja.

"Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?" Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum. "Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjadi pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya."

Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar.

"Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya. Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa."

Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: "Katamu tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?"

"Takut sekali, Sunan."

"Kenapa kamu melakukannya?"

"Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku."

"Kamu tidak menggunakan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?"

"Aku tahu persis itu, Sunan."

"Kenapa kau langgar akal sehatmu?"

"Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku mati, sekarang ini pun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati."

"Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan membakar tenggorakan dan perutmu?"

"Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati."

Sunan Kudus melanjutkan: "Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain?"

"Maksud Sunan?"

"Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?"

"Kalau itu terjadi, yang membahayakan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri," jawab Saridin, "Setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnya, dengan keyaknannya, dengan tempat ia berpijak, serta dengan berbagai kemungkinan sunatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda."

"Orang memang tak akan menyebutmu kadal, kuda, atau kodok, melainkan bunglon. Apa katamu?"

"Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya."

Saturday, April 01, 2006

BERBILANGNYA JAMA’AH MERUPAKAN FENOMENA PENYAKIT

Assalammualaikum warrohmatullah wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

Fenomena Hizbiyah di Indonesia sudah merajalela. Banyak golongan pergerakan(harokah) membuat jema'ah sendiri di Indonesia. Untaian nasihat dari Syaikh Shalih Utsaimin rahimahulullah, agar kita menjadi satu dalam Akidah/Tauhid yang benar. Alasan saya ngepost dua artikel (ini dan yang bawah ini)

BERBILANGNYA JAMA’AH MERUPAKAN FENOMENA PENYAKIT

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah berbilangnya jama’ah Islamiyah di lapangan (dakwah) mempunyai dampak negative atau ia justru merupakan fenomena yang baik ?

Jawaban

Berbilangnya jama’ah adalah merupakan fenomena yang tidak sehat dan bukan sebuah fenomena yang baik. Dan saya memandang adalah hendaknya umat Islam ini menjadi satu kelompok, yang menyandarkan loyalitas kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya dengan pemahaman Salafush Shalih(Sahabat,tabi'in, tabi'ut tabi'in dan ulama Hadits/Sunnah). Dan dengan perkataan ini saya tidak bermaksud untuk memaksa manusia untuk bersatu dalam satu pendapat, karena hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Dan khilaf dalam pendapat tetap ada walaupun di zaman para sahabat –Ridhwanullah ‘Alaihim- , dan bahkan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka para sahabat yang dilarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah salah seorang dari kalian mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”

Lalu keluar dari kota Madinah dan waktu shalat pun mendapati mereka sehingga mereka berbeda faham dalam memahami nash ini. Maka diantara mereka ada yang memandang untuk mengakhirkan shalat hingga mereka tiba di Bani Quraizhah walaupun waktunya telah keluar. Dan diantara mereka ada yang memandang untuk mengerjakan shalat pada waktunya walaupun belum tiba di Bani Quraizhah. Dan hal inipun sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak menyalahkan seorangpun dari mereka.

Yang penting adalah bahwa khilaf dalam pendapat akan ada namun khilaf dalam arah (pemikiran)lah yang dikhawtirkan. Dengan arti bahwa setiap orang dari kita meyakini bahwa ia berada di atas manhaj yang menyelisihi manhaj saudaranya, dimana ia kemudian membicarakan dan mencela dan bahkan boleh jadi mengeluarkannya dari Islam ; karena ia tidak berada di atas metodenya.

Inilah yang dikhawatirkan sebagaimana yang terjadi dari sebagian orang hari ini. Anda menemukan jika ia diselisihi oleh seseorang dalam pendapatnya –dan boleh jadi pendapat yang benar bersama dengan orang yang menyelisihinya- maka ia akan menyerang dan mencelanya pada setiap kesempatan yang memungkinkannya untuk mencela dan menyerangnya.

Ini tidak diragukan lagi menyelisihi jalan orang-orang yang beriman, sebab orang-orang beriman adalah bersaudara yang saling menyayangi walaupun mereka berbeda dalam pendapat. Bahkan sesungguhnya saya mengatakan : Perbedaan dalam pendapat jika didasari oleh dalil maka ia hakikatnya bukanlah ikhtilaf ; karena kedua orang yang berbeda tidak lain ingin mengamalkan dalil. Maka dalam kenyataannya, mereka bersepakat akan tetapi berbeda dalam memahami dalil. Perbedaan dalam pemahaman ini adalah perkara yang selalu ada pada bani Adam, dan tidak akan membawa mudharat dan tidak akan mengakibatkan perbedaan hati jika disertai niat yang baik.

[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]

CARA PENANGGULANGAN PERPECAHAN UMAT

Kategori: Fenomena Perpecahan Umat!
Fenomena di Indonesia yang sering terjadi. Berpecah tanpa menyatukan Akidah/Tauhid yang merupakan landasan semua amal kita dalam memeluk islam. Da'wah yang dibawa 5 orang Rasul dan para Nabi, adalah akidah dan men-tauhid kan ALLAH Azza Wa Jalla. Karena sebesar2 besarnya dosa yang tak mengeluarkan dari islam adalah Syirik Kecil, tapi setiap orang lalai dan tak memperhatikan masalah ini

Menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar adalah dengan kaidah-kaidah ilmu Syar'i

Pengenalan mengenai Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql.
Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Dosen dalam bidang aqidah dan madzhab-madzhab Al-Mua'asharah Fakultas Ushuluddin(Akidah/Tauhid/asas2 dasar Islam) di Riyadh, Saudi Arabia, Universitas Al-Imam Muhammad bin Su'ud Al-Islamiyah.

CARA PENANGGULANGAN PERPECAHAN UMAT
Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql

AL-IFTIRAAQ MAFHUMUHU ASBABUHU SUBULUL WIQAYATU MINHU [Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya]

Sudah barang tentu, mewaspadai perpecahan dan mencegahnya sebelum terjadi lebih baik daripada menyelesaikannya setelah terjadi.

Seyogyanya kita mengetahui bahwa mewaspadai perpecahan adalah dengan mewaspadai sebab-sebab yang telah kami sebutkan terdahulu

Namun di sini terdapat beberapa faktor lain yang dapat menangkal terjadinya perpecahan, baik faktor yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Di antara faktor-faktor umum ialah berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hal ini merupakan kaidah agung yang melahirkan wasiat-wasiat serta banyak perkara lainnya. Dan perkara yang terakhir dari kaidah besar itulah yang merupakan faktor khusus, yaitu :

Mengenal petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengannya. Barangsiapa mengikuti petunjuk Nabi, dia pasti mendapat petunjuk insya Allah, dan dapat melaksanakan agama berdasarkan pengetahuan. Dengan begitu ia akan terhindar dari perpecahan atau pertikaian yang menjurus kepada perpecahan tanpa disadari

Di antara faktor-faktor khusus dalam penanggulangan perpecahan adalah menerapkan pedoman Salafus Shalih ( para sahabat, tabi'in,tabi'ut tabi'in dan imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, salafus dalam bahasa arab adalah pendahulu).-->(tabi'in jaman setelah Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam seperti jaman Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi),Imam Maliki. Tabi'ut tabi'in yaitu jaman setelah tabi'in seperti jaman Imam Syafi'ie.

Memperdalam ilmu agama dengan mempelajarinya dari para ulama dan dengan metodologi yang shahih berdasarkan petunjuk ahli ilmu.Bergaul dengan para ulama dan imam-imam yang berjalan di atas petunjuk yang terpercaya agama, ilmu dan amanahnya. Ahamdulillah mereka masih banyak dan tidak mungkin umat Islam akan kehabisan ulama pewaris Nabi. Barangsiapa berasumsi bahwa mereka akan habis, berarti ia berasumsi bahwa agama Islam akan berakhir. Asumsi seperti ini jelas tidak benar, sebab Allah telah berjanji akan mejaga agama Islam sampai hari Kiamat. Karena umat Islam merupakan perwujudan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang merupakan perwujudan para ahli ilmu dan ahli fiqih akan tetap ada sampai hari Kiamat. Maka barangsiapa menyangka bahwa ahli ilmu akan habis atau tidak ada lagi keteladanan ulama yang menjadi tempat bertanya bagi umat, berarti ia telah menyangka bahwa tidak akan ada lagi Thaifah Manshurah (Kelompok yang mendapatkan petolongan dari Allah) dan tidak ada pula Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Dan ini berarti kebenaran akan hapus dan sirna dari tengah-tengah manusia. Ini jelas menyelisihi nash-nash yang qath'i dan prinsip-prinsip dasar agama.

Menjauhi sikap meremehkan alim ulama atau menyimpang dari mereka dengan segala model dan bentuknya yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan.

Keharusan mengantisipasi fenomena-fenomena perpecahan terutama yang terjadi pada sebagian pemuda, orang-orang yang suka tergesa-gesa, serta orang-orang yang belum memahami cara hikmah dalam berdakwah, belum berpengalaman dan belum memahami Islam

Semangat memelihara keutuhan jama'ah, persatuan dan perdamaian dalam arti umum dengan prinsip-prinsipnya. Setiap muslim, khususnya para penuntut ilmu dan juru dakwah, wajib berusaha memelihara keutuhan jama'ah, persatuan dan pedamaian antar sesama juru dakwah serta penyeru kebaikan dan antara rakyat dan penguasa. Dan menyatukan kalimat untuk menyeru kepada kebaikan dan takwa.

Barangsiapa ingin berpegang teguh kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan selamat dari perpecahan -insya Allah- dia harus menetapi ahli ilmu dan menetapi kaum yang shalih dari kalangan orang-orang yang takwa, orang-orang yang baik dan istiqamah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencelakakan teman duduknya dan tidak menyesatkan rekan sejawatnya. Barangsiapa menginginkan bagian tengah Surga, hendaklah ia komitmen terhadap jama'ah, karena jama'ah adalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya.

Untuk menanggulangi terjadinya perpecahan kita harus menjauhi hizbiyah (bergolong-golongan) sekalipun untuk tujuan dakwah. Dan juga menjauhi sikap fanatik golongan, apapun bentuk dan sumbernya. Karena hal itu merupakan benih-benih perpecahan.

Memberi nasihat kepada penguasa, baik penguasa itu shalih maupun fajir. Begitu pula menasihati khalayak umum. Karena nasihat kepada para penguasa dapat mewujudkan maslahat yang besar bagi umat, dan akan menjadi hujjah di hadapan Allah, atau menjadi penolak bala', penghapus rasa dengki dan dengannya pula akan tegak hujjah. Menasihati penguasa termasuk salah satu wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang terbesar, beliau memerintahkan umatnya supaya bersabar dalam menjalankannya dan berpegang kepada wasiat tersebut. Dan juga merupakan pedoman Salafus Shalih yang membedakan mereka dengan ahlul ahwa(ahli hawa nafsu) dan ahlul iftiraq(ahli hizbiyah/golongan). Menahan diri dari menasihati penguasa berarti mengabaikan hak Islam dan kaum muslimin. Dan berarti pula memperturutkan hawa nafsu yang akan melahirkan keburukan dan bencana.

PENUTUP
Sebelum berpisah, saya ingin menyampaikan sebuah wasiat khususnya bagi para pemuda : Hendaklah para pemuda banyak berhubungan dengan para ulama. Demikian pula hendaklah mereka banyak bergaul dengan para penuntut ilmu yang terpercaya. Hendaklah para pemuda menimba ilmu agama dan mendalaminya dari mereka. Hormati dan hargailah mereka serta ambillah pendapat mereka dalam perkara-perkara penting yang dihadapi umat. Komitmenlah kepada ketetapan-ketetapan ulama dalam mewujudkan maslahat umat dan dalam menghadapi problematika utama kaum muslimin. Mereka wajib berpegang dengan arahan-arahan ahli ilmu, ahli fiqih, dan ulama berpengalaman demi mewujudkan kemaslahatan umat, memelihara persatuan dan menjaga umat dari ancaman perpecahan. Demikian pedoman Salafus Shalih, petunjuk yang dapat dipakai untuk meneladani para imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan itulah jalan kaum mukminin, petunjuk kaum shalihin dan shiratul mustaqim.

Saya memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi semoga Dia menyatukan kaum muslimin di atas kebenaran, kebaikan dan hidayah. Mempersatukan barisan kaum muslimin dan menolong mereka dalam mengalahkan musuh-musuh mereka. Saya juga memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi semoga kita terhindar dari kejinya fitnah baik yang lahir maupun yang batin. Kita berlindung kepadaNya dari perpecahan, hawa nafsu dan bid'ah. Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, atas keluarga beliau dan seluruh sahabat-sahabatnya.

Menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar dengan kaidah-kaidah ilmu

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-'Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]